Selasa, 15 Februari 2011

Tuesday, 15 February 2011

Gelar itu terpaksa diserahkan ke China setelah pada kuartal terakhir
2010 Jepang mengalami kontraksi yang disebabkan melemahnya belanja
konsumen dan penguatan nilai tukar yen. Secara keseluruhan,
perekonomian Jepang tumbuh 3,9% pada 2010, pertama sejak tiga tahun
terakhir.Namun,hal itu tetap tidak dapat menahan kemajuan ekonomi
China. Dengan nominal produk domestik bruto (PDB) sebesar USD5,474
triliun pada 2010, Jepang harus rela berada di belakang China yang
membukukan nominal PDB USD5,879 triliun.

Data juga
menunjukkan, perekonomian Jepang masih dibebani deflasi, lemahnya
permintaan domestik,dan tekanan utang sektor industri yang terbesar di
dunia. “Sulit bagi perekonomian Jepang yang terbebani deflasi untuk
mencapai pertumbuhan berkelanjutan,” ujar Kepala Monex Securities
Naoki Murakami kemarin. Keajaiban perekonomian yang dialami Jepang
pascaperang menempatkan negara itu di posisi kedua setelah Amerika
Serikat (AS) selama lebih dari empat dekade.

Ketika itu,
tepatnya pada 1968, Jepang mengambil alih posisi Jerman Barat.
Darinegarayangporak-poranda akibat Perang Dunia II,Jepang melesat
menjadi manufaktur global dan simbol kekuatan ekonomi Asia. Namun,
stagnasi yang dialami Jepang setelah gelembung properti meletus pada
1990 menempatkan China di jalur utama sebagai pesaingnya. Loncatan
ekonomi Negeri Tirai Bambu itu memang luar biasa.

Menurut
perkiraan Bank Dunia, Goldman Sachs, dan sejumlah lembaga finansial
dunia lainnya, China berpeluang mengambil alih posisi AS sebagai
negara dengan perekonomian terbesar di dunia pada 2025. Meski begitu,
berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF), Jepang masih 10
kali lebih kaya dari sisi pendapatan per kapita dibanding China. Pada
kuartal terakhir tahun lalu, PDB Jepang tercatat merosot 1,1% karena
berakhirnya subsidi penjualan mobil,pengenaan pajak baru pada tembakau
yang melemahkan permintaan, serta dampak penguatan yen terhadap
ekspor.

Kendati demikian, kontraksi pertama dalam lima kuartal
terakhir di Jepang itu tak separah yang diperkirakan sejumlah analis
sebelumnya,sebesar 2,4%. Meskipun Jepang berhasil keluar dari resesi
pada 2009, pemulihan yang terjadi masih rentan lantaran dibayangi
deflasi, utang publik yang tinggi,permintaan domestik yang lemah,dan
penguatan yen yang mengkhawatirkan pemerintah. Tekanan besar dirasakan
Perdana Menteri Jepang Naoto Kan yang harus meningkatkan perekonomian
tanpa memperbanyak utang.

Pemerintah juga dipusingkan
kebuntuan persetujuan legislatif atas anggaran USD1,1 triliun untuk
tahun fiskal berikutnya. Bulan lalu Standard & Poor’s memangkas
peringkat kredit Jepang satu level, dari “AA”menjadi “AA-“ dan
menyatakan Pemerintah Negeri Sakura itu tidak memiliki strategi
koheren untuk mengurangi utang berjalan yang hampir 200% dari
PDB,tertinggi di antara negara-negara maju. Hampir sepertiga
pengeluaran pemerintah tertuju pada jaminan sosial yang melayani
masyarakat manula.

Pemerintahan Kan memprioritaskan reformasi
jaminan sosial dan perbaikan sistem pajak. Namun,sejauh ini oposisi
menolak untuk memulai pembicaraan tentang masalah ini. Konsumsi sektor
swasta terhitung sekitar 60% dari PDB Jepang, turun 0,7% per kuartal
pada Oktober–Desember karena subsidi pada mobil ramah lingkungan yang
dihentikan, penjualan rokok yang turun seiring dengan kenaikan pajak
tembakau.

Ekspor juga turun lantaran penguatan yen terhadap
dolar membuat harga barang-barang Jepang lebih mahal di luar negeri
dan memangkas keuntungan para eksportir. Sadar terhadap perkembangan
yang terjadi,pemerintahan Jepang saat ini memosisikan diri sebagai
negara di urutan ketiga terbesar setelah China.Jepang menyatakan,
mungkin ada keuntungan memiliki negara tetangga seperti China. “Kami
sebagai negara tetangga menyambut baik perekonomian China yang tumbuh
dengan cepat,” tutur Menteri Kebijakan Fiskal Jepang Kaoru Yosano.


Menguntungkan Indonesia

Perkembangan ekonomi China yang sangat pesat dalam
beberapa tahun terakhir itu dinilai ekonom menguntungkan Indonesia.
Salah satunya karena China merupakan mitra dagang terbesar dengan
Indonesia.“ Hubungan dagang China dan Indonesia juga cukup baik selama
ini,” ungkap pengamat ekonomi Universitas Atmajaya A Prasetyantoko
kepada SINDOtadi malam. Dia menuturkan, peningkatan ekonomi China
didukung sepenuhnya oleh industri manufaktur.

Sementara
kebutuhan bahan baku untuk menjalankan industri manufaktur China
ditopang Indonesia. Momentum ini harus dimanfaatkan oleh pemerintah.
Prasetyantoko mengatakan, wajar jika perekonomian China tumbuh pesat
belakangan ini.Perkembangan perekonomian global kini dipimpin oleh
negara-negara berkembang, bukan lagi negaranegara maju.

Dia
menilai, perekonomian Indonesia juga bisa berkembang seperti China.
”China, India, dan Indonesia termasuk satu gerbong. Jika salah satu
mengalami peningkatan, kita juga berpotensi meningkat,” tegasnya.
Peluang perekonomian Indonesia mengalami akselerasi sangat terbuka.
Indonesia mulai masuk dalam radar investasi global. Indikator lainnya
yakni kemungkinan masuknya Indonesia dalam level investment grade.
(AFP/rini harumi w/ wisnoe moerti)

Source:Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar