Senin, 07 Februari 2011

Tuesday, 08 February 2011

Tiga orang tewas, puluhan luka parah, dan tak sedikit yang luka
ringan. Terlepas dari perbedaan agama ataupun keyakinan yang memang
nyata itu,apakah dibenarkan orang menganiaya, menyiksa, menelanjangi,
lalu memukul mereka yang berbeda keyakinan tersebut sampai mati? Allah
bukanlah ketua partai politik yang harus dibela atau didukung. Allah
juga tidak membutuhkan kekuatan manusia untuk membasmi
kelompok-kelompok yang ditengarai berbeda keyakinan karena Ia adalah
Sang PenciptaYang Maha Agung. Anehnya, pemerintah hanya bisa mengecam
aksi kekerasan tersebut dan meminta aparat untuk mengusut dan menindak
pelakunya.

Tak ada upaya maksimal untuk mencegah bentrokan
ataupun tindakan kekerasan atas nama agama yang berulang kali terjadi.
Anehnya pula, pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas urusan
agama di negeri ini bukannya melindungi para warga Ahmadiyah itu,
melainkan malah menghujat dan ingin membubarkannya atas nama
undangundang atau peraturan negara. Lebih aneh lagi jika aparat
pemerintah dan keamanan daerah bukan melindungi mereka, malah ikut
bersama massa mengusir atau akan menempatkan mereka ke suatu wilayah
terpencil dengan alasan demi keamanan para anggota jamaah
Ahmadiyah.Padahal kita tahu, jika mereka dipindahkan ke suatu pulau,
ini sama saja memisahkan jamaah Ahmadiyah dari lingkungannya.


Ini juga sama saja dengan upaya pemerintah untk membangun
enclave-enclave atas nama agama tertentu seperti politik kolonial
Belanda dulu yang memisahkan masyarakat Islam dan Kristen di Maluku.
Ini amat berbahaya karena suatu saat, jika ternyata kaum pengikut
Ahmadiyah mampu membangun kekuatan ekonomi mereka di pulau tersebut,
bukan mustahil mereka juga akan diserang kembali karena adanya
kecemburuan sosial ekonomi dari kelompok tertentu yang tidak mampu
membangun kekuatan ekonomi. Anehnya pula, teman-teman aktivis hak-hak
asasi manusia dan yang mengagungkan multikulturalisme yang bergabung
menjadi anggota partai penguasa kini justru tak terdengar lagi suara
mereka.

Padahal mereka dulu berjanji bahwa bergabungnya mereka
ke partai adalah agar pikiran dan tindakan mereka dapat memengaruhi
kebijakan penguasa terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang
berbeda.Mereka juga ingin mencegah kekerasan demi kekerasan atas nama
agama. Kita patut bertanya, mengapa aparat keamanan tidak berupaya
mencegah sebelum pembantaian massal tersebut terjadi? Apakah aparat
intelijen kepolisian sudah benar-benar lumpuh sehingga tidak mampu
mengantisipasi kejadian yang akan berlangsung? Apakah aparat keamanan
kita juga tidak melakukan pendekatan-pendekatan persuasif sebelum
prahara itu datang? Ini bukan soal pembelaan terhadap jamaah Ahmadyah,
melainkan suatu kegusaran kita sebagai sesama warga negara pemilik
negeri ini.

Tidak malukah kita sebagai suatu bangsa yang
memiliki Pancasila dan dieluelukan sebagai bangsa yang ramah terhadap
orang asing justru beringas dan sadis terhadap sesama anak bangsa?
Tidak malukah kita sebagai bangsa jika ada anak-anak bangsa, apa pun
agama dan keyakinannya, meminta suaka politik ke Negeri Kanguru
(Australia) karena mereka tidak mendapatkan tempat yang nyaman dan
aman di negeri sendiri? Mengapa pula para aparat pemerintah kita tidak
bisa tegas dalam melawan kekerasan yang dilakukan anak-anak bangsa?


Apakah itu bagian dari politik pembiaran dan/atau politik
balas dendam karena selama ini sekelompok pemuka berbagai agama
menuding pemerintah melakukan 18 kebohongan publik yang terdiri atas 9
kebohongan lama dan 9 kebohongan baru? Jika nyawa warga negara
dijadikan tumbal dari pertarungan antara pemerintah dan para pemuka
agama, pantaslah jika Forum Rektor menilai bahwa negeri ini berada di
ambang kegagalan (failing state). Para pemuka agama juga tidak cukup
hanya menyerang, menuding atau mengimbau agar pemerintah mengambil
tindakan tegas kepada para pelaku kekerasan. Harusnya mereka juga
bahu-membahu untuk menentang kekerasan melalui tindakan nyata, yakni
melindungi penganut agama atau kepercayaan yang tidak sama dengan
kepercayaan atau agama yang mereka anut.

Soal neraka atau
surga, benar atau salah,dosa atau pahala adalah urusan para individu
penganut agama atau kepercayaan yang beragam itu. Biarkan mereka bebas
menjalankan agama/kepercayaannya tanpa harus dipaksa untuk berganti ke
agama/kepercayaan lain. Salah satu pertanda apakah negeri ini sudah
sampai pada taraf demokrasi yang terkonsolidasi adalah apabila freedom
from fear, freedom of religion,freedom of speech, dan freedom of the
pressbenar-benar terjamin di negeri ini. Dapatkah negara menjamin
semua itu?

Dapatkah negara juga juga melindungi warga
negaranya tanpa memandang asal usul, warna kulit, etnik, agama, atau
status sosialekonomi mereka? Jika tidak, negeri ini benar-benar sudah
nyaris menjadi negara yang gagal! (*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic
Affairs LIPI

Source:Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar